Saturday, April 3, 2010

Cerita Kita

Aku punya sebuah cerita.
Ini hanyalah cerita fiksi yang ditulis instan oleh seorang penulis cerita fiksi yang tak mampu lagi menulis fiksi.


Ada seorang perempuan dan seorang laki-laki. Keduanya berteman dekat, tak lancang melebihi garis batas masing-masing.
Suatu waktu, si perempuan mulai menggelitik garis itu. Namun ia tak berani lebih jauh karena garis si laki-laki lebih tebal meskipun terlihat kabur.
Lalu titik balik terjadi. Si laki-laki memutuskan untuk mencapai cita-citanya. Dan ia menanyakan pendapat si perempuan.
Si perempuan berpikir keras. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Karena ia tahu dan sadar, langkah yang akan diambil si laki-laki akan merebut sahabat terbaiknya itu..
Namun akhirnya si perempuan berhasil berpikir jernih. Ia tak mau egois dan menghalangi masa depan orang lain. Dan ia pun memberikan dukungan.

Waktu berlalu, keduanya makin terasa jauh satu sama lain. Kekhawatiran si perempuan benar-benar terjadi. Berulang kali ia memendam keinginannya untuk menyapa si laki-laki karena ia tidak mau mengganggunya.
Namun apa yang terjadi? Timbunan rasa rindu itu semakin merusak garis yang sudah rentan. Kini ia benar-benar tidak tahan lagi, diterjang egoisme tak terbendung sehingga akhirnya si perempuan memutuskan garis itu dan berhadapan langsung dengan garis si laki-laki yang semakin rimbun namun berkabut.
Bagian selanjutnya dapat ditebak. Si laki-laki mengurangi kabut yang ada dan terlihatlah garis tebal itu.
Si perempuan terhenyak. Kini ia sadar bahwa ia sudah kelewatan. Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur.
Si perempuan kembali mundur dan mencoba membenahi garisnya sendiri. Dari balik garis itu, seringkali ia mengintai diam-diam, menatap penuh harap ke garis seberang, berharap garis itu kembali menipis seperti sedia kala.
Akhirnya kedua garis itu kembali ke kondisi semula, meski masing-masing telah memperkuat tamengnya.

Waktu kembali berlalu. Tawaran itu pun tiba. Si perempuan dihadapkan pada sesuatu. Sesuatu yang menjadi impian si laki-laki. Sesungguhnya si perempuan tidak pernah suka dengan jalan itu. Namun entah bagaimana kini si perempuan mengikuti jejak si laki-laki. Ia sendiri tidak tahu alasannya. Apa itu untuk masa depannya sendiri? Sepertinya tidak. Apakah ia melakukan itu karena ingin menantang rivalnya itu? Mungkin.

Sungguh perempuan yang bodoh..

0 comments: